Kamis, 25 Februari 2016

Makalah Peradilan Pada Masa Abu Bakar As Shiddiq dan Umar Bin Khattab



BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
      Setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, perjuangan Rasulullah SAW diteruskan oleh khulafâ’ al-râsyidîn, yaitu Abu Bakar al-Shiddîq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, dan Ali bin Abi Thalib. Alasan disebut dengan khulafâ’ al-râsyidîn adalah dikarenakan kata khulâfâ’ berasal dari khalîfah yang berarti pengganti. Sedangkan râsyidûn adalah yang mendapatkan petunjuk. Jadi khulafâ’ al-râsyidîn adalah khalifah-kahlifah (pengganti-pengganti) Rasulullah SAW yang berarti mendapat bimbingan yang benar, karena mereka melakasanakan tugas sebagai pengganti Rasulullah SAW menjadi kepala negara Madinah dan sebagai pembantu rakyat dan wakil pelaksana mereka dalam mengelola negara.
      Dalam meneruskan perjuanggan Rasulullah SAW, khulafâ’ al-râsyidîn telah melakukan banyak sekali kebijakan untuk membangkitkan perjuangan Islam. Salah satunya adalah peradilan (yudisial). Ini dikarenakan peradilan adalah sangat penting bagi pembangunan umat Islam itu sendiri, melihat Nabi yang mendapatkan wahyu dari Allah SWT sudah tidak ada lagi. Maka dari itu, konsep peradilan khulafâ’ al-râsyidîn sangatlah penting dalam sejarah pembentukan ‘Peradilan Islam’.
B. Rumusan masalah
1. Bagaimana   peradilan pada massa Abu Bakar Ash Shiddiq ?
2. Bagaimana   peradilan pada massa Umar Bin Khattab ?


C. Tujuan
1. Untuk mengetahui peradilan pada massa Abu Bakar Ash Shiddiq
2. Untuk mengetahui  peradilan pada massa Umar Bin Khattab















BAB II
Pembahasan
A.    Peradilan pada massa Abu Bakar Ash Shiddiq
1.1  Biografi Abu Bakar Ash Shiddiq
      Abu Bakar adalah khalifah pertama pengganti Nabi Muhammad SAW. Nama lengkapnya adalah Abdullah bin ustman bin amir bin ka’ab bin sa’ad bin taim bin murrah bin ka’ab bin lu’ai bin ghalib bin fihr al-Quraisy at-Tamimi[1]. Beliau lahir  pada tahun 51 H/573 M dikota Mekkah setelah Alfail dua tahun enam bulan. Beliau berasal dari keluarga bangsawan Quraisy kaya dan merupakan pemeluk agama Islam ke dua setelah istri nabi Muhammad SAW yaitu Siti Khadijah dan beliau tidak pernah minum khamar pada zaman jahiliyah.
      Abu Bakar adalah salah termasuk orang yang pertama kali masuk Islam. Ada beberapa orang yang masuk pertama kali masuk Islam, atau dikenal engan sebutan As-Sabiqun al-Awwalun (Arab: السَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ), yang mana terdiri dari beberapa golongan, yaitu[2] :
o   Abu Bakar à dari golongan lelaki merdeka.
o   Khadijah à dari golongan wanita.
o   Ali Bin Abi Thalib à dari golongan anak-anak
·         Zaid bin Haritsah à dari golongan budak.
      Abu Bakar menjadi sahabat Nabi yang sangat setia dan dikenal sebagai tokoh yang jujur, lurus, dan sangat dipercaya. Oleh karena itu beliau mendapat gelar “As Shiddiq” (yang dipercaya). Ketika hijrah ke Madinah, Abu Bakar setia sekali menemani Nabi saw, termasuk ketika bersembunyi di Gua Tsur. Ketika Nabi saw udzur, beliau ditunjuk oleh menjadi imam shalat. Beliau diridhoi oleh kaum muslimin menjadi khalifah setelah wafatnya Rasulullah, lalu beliau memerangi orang-orang murtad dan tidak membayar zakat, kemudian beliau menempatkan islam di jazirah arab, mengirimkan para tentara untuk menaklukkan kota Irak dan Syam.
     Abu Bakar, setelah wafatnya rasulullah terpilih menjadi pemimpin setelah sejumlah tokoh Muhajirin dan Ansar berkumpul di balai kota bani Sa’idah untuk bermusayawarah tentang tokoh yang akan menjadi pemimpin setelah wafatnya nabi Muhammad SAW. Setelah itu Abu Bakar di baiat menjadi khalifah. Pada awal perjuangan Islam, Abu Bakar sering mendermakan hartanya untuk kaum muslimin yang miskin dan untuk membebaskan budak yang disiksa oleh majikannya karena memeluk agama Islam, seperti Bilal. Beliau wafat dikota Madinah pada tahun 13 H/ 634 M dan dimakamkan disamping Rasullah saw[3].
1.2. Sumber hukum peradilan islam pada masa Abu Bakar
      Cara Abu Bakar menghukumi sesuatu permasalahan adalah seperti apa yang dilakukan Rasulullah SAW sebelumnya. Apabila abu bakar menghadapi suatu perkara dan apabila datang sesuatu pengaduan kepadanya, memerhatikan kandungan al-Qur’an. Jika ada hukum di dalam Al-Qur’an tentang perkara yang telah timbul itu, beliau pun menghukumkan perkara itu dengan ketetapan yang ada dalam al-Qur’an. Jika tidak mendapatkan hukumnya dalam al-Qur’an, beliau memperhatikan sunnah yang beliau telah mengetahuinya. Jika beliau memperoleh sunnah dalam perkara itu, beliau pun memutuskannya menurut ketetapan sunnah. Apabila tidak juga beliau dapati sesuatu ketetapan dalam sunnah, beliau menanyakan hadis-hadis nabi tentang perkara itu kepada para sahabat, lalu beliau memutuskan perkara menurut hadis yang beliau dapati dari seseorang yang dipercaya. Jika tidak ada sesuatu hadis yang dapat diriwayatkan kepadanya sesudah beliau menanyakan kesana kemari, beliau mengumpulkan ahli-ahli ilmu dan orang-orang yang terkemuka dari para sahabat untuk berembuk dan berunding. Apa yang telah disepakati oleh ahli perundingan itu, beliau mempergunakan untuk menetapkan hukum dan menyelesaikan serta memutuskan pertikaian. Kalau memang masalah tersebut berhubungan langsung dengan hukum masyarakat. Beliau akan berijtihad secara sendiri (`ijtihâd fardî) bagi masalah-masalah yang berhubungan dengan perserorangan[4]
      Walaupun Rasulullah SAW menetapkan kebolehan melakukan ijtihad dengan pemikiran rasional seseorang dan qiyas, Khalifah Abu Bakar RA enggan memakainya kecuali sedikit saja. Ini dikarenakan beliau takut terjadi kesalahan di dalam hukum, sehingga beliau tidak menggalakkan seseorang untuk memberi fatwa kepada orang lain yang berasal dari ketidak-tahuan. Beliau malah pernah berkata ketika berfatwa dengan memakai pemikirannya dan qiyas: “Ini adalah pendapatku, apabila ia adalah benar, maka ia adalah dari Allah, apabila ia adalah salah, maka ia datang dariku. Aku memohon ampun kepada allah”.
1.3. .      Hakim-hakim pada masa Abu Bakar
         Abu bakar telah menetapkan para hakim yang telah ditentukan oleh Rasulullah saw,  kami akan menghitung para hakim pada masa Abu Bakar ra, diantaranya[5]
a)      Umar bin Khattab, yang telah diangkat sebagai qadhi dikota Madinah.
b)      Uttab bin Usaid, yang telah diangkat oleh Nabi saw dikota Mekkah setelah menaklukkannya, lalu ditetapkan sebagai qadhi juga oleh Abu Bakar dikota tersebut.
c)      Usman bin Abil Ashi, sebagai hakim dikota Tha’if.
d)     Abu Musa al-Asy’ari, sebagai hakim di Zubaid dan Rammi’ (والي زبيد ورمع) dari tanah Yaman.
e)      Mu’ad bin Jabal, sebagai hakim di Janad dari tanah Yaman dan sebagai qadhi pada masa Nabi.
f)       Al-Muhajir bin Abi Umayyah, sebagai hakim di Sun’a’ (والي صنعاء) dan telah menaklukkan setelah keluarganya murtad.
g)      Al-Ala’ bin Al-Hadhromi, sebagai hakim di Bahrain serta pernah ditunjuk olen Rasulullah.
h)      Ziyad bin Lubaid, sebagai hakim di Hadhromaut dan pemimpin untuk memerangi orang murtad di Yaman.
i)        Ya’la bin Umayyah, sebagai hakim di Khawlan dari tanah Yaman.
j)        Jarir bin Abdullah Al-Bajali, sebagai hakim di Najran.
k)      Abdullah bin Tsaur, sebagai hakim di Juras (berlawanan dari kota Yaman yang berarahan kota Mekkah.
l)        Iyyad bin Ghanam Al-Fihri, sebagai hakim di Dumatil Jandal

1.4. Kasus-kasus peradilan islam pada masa Abu Bakar
Ada beberapa keputusan pada masa Abu Bakar, sebagian terjadi di Madinah, Mekkah dan kota-kota yang lain. Di antaranya[6]
1)      Keputusan Qishas
      Ali bin Majah berkata: saya telah membunuh seorang laki-laki dan telah memotong sebagian telinganya,  lalu dia melaporkan perkaranya kepada Abu Bakar, kemudian Abu Bakar berkata pada Umar: “lihatlah apakah dia telah melakukan itu” lalu umar menjawab: iya, saya wajib dicantuk, ketika tukang cantuk berkata, maka Abu Bakar berkata: “Aku telah mendengar Rasulullah bersabda: “saya telah memberi pelayan pada saudariku, saya harap pelayan ini dapat memberi keuntungan dan saya telah melarang kepada saudariku untuk menjadikan “Hujjaman, Qasshoban, atau pembuat”.
2)      Keputusan nafakahnya orang tua kepada anaknya
      Baihaqi meriwayatkan dari Qais bin Hazam berkata: “saya telah mendatangi Abu Bakar, tiba-tiba ada seorang laki-laki bertanya kepadanya: orang ini ingin mengambil semua hartaku, lalu Abu Bakar menjawab: kamu telah memiliki sesuatu yang dapat mencukupimu dari hartanya, lalu laki-laki bertanya: ya khalifah,  apakah Rasulullah tidak bersabda: kamu dan sesuatu milikmu adalah untuk bapakmu? Lalu Abu Bakar menjawab: ridhoilah apa yang di ridhoi oleh Allah swt, yakni nafakah.


3)      Keputusan ketahanan yang disyari’atkan(الدفاع المشروع)
      Bukari meriwatkan dari ibnu Ubay Mulaykah bahwa “seorang laki-laki telah menggigit tangan orang lain, lalu dia mengganjilkan gigi serinya, maka Abu Bakar telah menyia-nyiakannya.
4)      Keputusan hukum jilid
      Imam Malik meriwayatkan dari nafi’ bahwa: “Abu Bakar kedatangan seorang lelaki yang telah menjimak seorang janda budak lalu hamil, kemudian dia mengakui telah berzina tetapi bukan muhsan, maka Abu Bakar memerintahkan untuk di Had/Jilid lalu diasingkan kenegara yang lain.
A.    Peradilan pada massa Umar bin khattab
2.1  Biografi Umar bin khattab
      Nama lengkap Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdul Uzza, dilahir di Mekkah, dari Bani Adi, salah satu rumpun suku Quraisy[7]. Ayahnya bernama Khaththab bin Nufail Al Mahzumi Al Quraisyi dan ibunya Hantamah binti Hasyim. Umar memiliki julukan yang diberikan oleh Muhammad yaitu Al-Faruq yang berarti orang yang bisa memisahkan antara yang haq dan bathil. Umar bin Khattab, sebelum masuk agama Islam selalu memusuhi Nabi Muhammad saw. Tetapi setelah memeluk agama Islam, ia menjadi sahabat Rasulullah saw dan bahkan terpilih sebagai khalifah ke dua setelah Abu Bakar As-Shiddiq.
      Umar merupakan seorang mujtahid dari salah satu sahabat dan orang yang dipastikan masuk surga, orang yang membukukan tanggal hijriyah, orang membentuk Baitu Mal untuk muslimin, orang yang memerintahkan membangun kota Kufah dan Bashroh, serta orang yang menjadi qadhi pada zaman Nabi saw. Beliau lahir dikota Mekkah pada tahun 40 H/ 584 M,  pada masa jahiliyah beilau terpandang mulia dan mempunyai martabat tinggi,   Sejak menjadi pemuda, Umar dikenal sebagai orang yang pemberani. Saat Umar masuk Islam, banyak keluarganya dan tokoh-tokoh Arab lain yang masuk Islam. Sehingga jumlah kaum muslimin semakin banyak dan dakwah Islam tidak lagi dilakukan secara sembunyi-sembunyi, tetapi disiarkan secara terang-terangan. Ketegasan dan keberanian Umar merupakan kekuatan besar dalam pengembangan Islam. Sebelum Umar masuk Islam, Umar adalah musuh Nabi saw dan para pengikutnya. Ketika mengetahui bahwa adiknya yaitu bernama Fatimah dan suaminya memeluk Islam, Umar sangat kesal dan segera mendatangi adiknya dengan penuh emosi memukul Fatimah beserta suaminya yaitu pada saat Fatimah membaca Al Qur’an. Namun sesaat kemudian Umar melihat lembaran bertuliskan ayat Al Qur’an . Ketika membacanya perasaannya menjadi tenang dan damai. Timbullah keinginan yang kuat dalam dirinya untuk menemui Rasulullah saw dan akhirnya Umar pun memeluk agama Islam. Umar masuk Islam ketika berumur 27 tahun.
      Umar sebagai khalifah membuat kebijakan dalam pemerintahan . Beliau melakukan ekspansi besar-besaran sehingga periodenya dikenal dengan nama futuhat al islamiyyah artinya perluasan wilayah Islam. Dan pembagian propinsi Islam. Beliau juga membentuk badan-badan pemerintahan dan membuat prinsip-prinsip peradilan. Umar juga dikenal sebagai sahabat nabi yang berani melakukan ijtihad atau pemikiran.  Pada saat Rasulullah masih hidup dan para sahabatnya, sangat kagum kepada Umar. Nabi Muhammad memberinya gelar Al Faruq yang berarti pembeda atau pemisah. Maksudnya, Allah SWT telah memisahkan dalam diri Umar antara yang hak dan yang bathil. Umar sebagai pemimpin yang ideal sehingga membuat iri musuh-musuhnya. Pada hari Sabtu tanggal 26 Zulhijah 23 H, Umar ditikam Abu Lu’luah hingga wafat saat hendak shalat Subuh. Umar meninggal di usia 63 tahun dan menjabat sebagai khalifah selama 10 tahun 6 bulan 8 hari.
2.2  Sumber hukum peradilan islam pada masa Umar Bin khattab
      Para hakim pada masa umar merujuk kepada al-Qur’an. Jika tidak mendapati hukum al-Qur’an, mereka mencarinya dalam sunnah. Tapi jika mereka tidak mendapatkan sesuatu didalamnya, mereka bertanya kepada fuqaha’ mujtahidin, apakah di antara mereka terdapat orang yang mengerti sesuatu dalam sunnah mengenai perkara yang dihadapi. Jika didapatkan, mereka berpedoman dengan apa yang dikatakan orang yang mengetahuinya tersebut setelah dilakukan upaya penguatan. Jika tidak didapatkan, mereka berijtihad secara kolektif  tentang topik permasalahan terdapat hubungan dengan prinsip-prinsip dasar jama’ah dan berijtihad secara individu dalam masalah-masalah sektoral yang khusus dengan individu.
      Semua keputusan pada masa Khulafa al-Rasydin bersumber pada masa Rasulullah saw, yakni Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijtihad. Akan tetapi yang yang nampak pada masa ini terdapat dua perkara[8]
1)      Pengembangan arti ijtihad dan pengamalannya, maka hal ini bisa diperkaya dengan cara musyawarah, syuro, ijma’, ra’yu, dan qiyas.
2)      Tampaknya sumber-sumber yang baru yang tidak ada pada masa kenabian, yaitu putusan yang masa lalu yang bersumber dari ulama’ salafus shalih (sahabat, tabi’in) pada masa khalifah ke khalifah yang lain.
      Jadi  semua keputusaan pada masa Khulafa al-Rasydin bersumber pada Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijtihad, Ijma’, Qiyas dan keputusan-keputusan masa lampau.
2.3  Hakim-hakim pada masa Umar Bin Khattab
      Kedaulatan islam telah tersebar pada masa Umar dan beberapa penaklukkan kota dan negara. Umar telah menentukan beberapa penguasa dan qadhi di wilayah itu dan sebagian qadhi di kota Madinah. Umar pernah memutuskan langsung sebuah kasus yang berurusan dengan ke khilafaan. Oleh karena itu, banyak sekali para qadhi dan penguasa pada masa Umar ra dan luas sekali perjalanan untuk melakukan peradilan/keputusan.
      Qadhi-qadhi yang paling penting pada masa Umar bin Khattab[9]
1)      Ali bin Abi Thalib, sebagai qadhi yang terkenal dikota Madinah sehingga Umar berulang kali mengungkapkan “قضية ولا أباالحسن لها”.
2)      Zaid bin Tsabit, sebagai qadhi untuk membagikan rezekinya, antara Umar dan Ubay terjadi persengketaan maka keduanya menjadikan Zaid bin Tsabit sebagai qadhi, Umar berkata kepadanya: “dirumahnya memberikan sebuah hukum”.
3)      Yazid bin Said yang terkenal dengan sebutan Yazid bin Ukhtil Namar, sebagai qadhi di Madinah dalam urusan yang kecil.
Ketiga di atas memutuskan sebuah perkara di Madinah, akan tetapi kadang-kadang Umar sendiri memutuskan dan meminta pendapat dari mereka serta menolak persengketaan dari mereka.
4)      Abdullah bin Mas’ud, yang telah diutus oleh umar sebagai qadhi di Kufah, sehingga As-Syi’bi berkata: orang pertama kali menjadi qadhi di Kufah adalah Abdullah bin Mas’ud.
5)      Sulaiman bin Rabi’ah, yang diangkat sebagai qadhi di Qadisiyah dan Kufah.
6)      Syarih bin Haris Al-Kindi, yang diangkat sebagai qadhi di Kufah karena beliau memiliki pandangan yang tajam dalam sebuah urusan.
7)      Jabar bin Qas’am bin Yazid, yang diminta oleh Umar sebagai qadhi di Madain, telah diriwayatkan orang yang pertama kali menjadi qadhi antara Ahlul Kufah adalah Jabar.
8)      Abu Qirroh Al-Kindi, yang diminta sebagai qadhi di Madain setelah Jabar bin Qas’am dipecat.
9)      Iyas bin Shabih, sebagai qadhi di Bashrah untuk masa yang lama. Kemudian beliau dipecat karena masyarakat mengadu tentang kelemahannya.
10)  Ka’ab bin Suwar Al-Azdi, sebagai qadhi di Bashrah setelah Iyas bin Shabih dipecat sampai terbunuhnya Umar.
11)   Abdullah bin Qais, Abu Musa Al-Asy’ari sebagai qadhi dan penguasa di Bashrah.
12)   Qais bin Abil Ash, sebagai qadhi di Mesir dan orang pertama kali menjadi qadhi.
13)   Ubadah bin Shamit, yang ditunjuk sebagai qadhi dan mu’allim di Syam dan orang pertama kali menjadi qadhi di Palastine.
14)   Nafi’ bin Abdul Haris Al-Khaza’i sebagai penguasa di Mekkah.
15)   Ya’la bin Umayyah, Khulaif bani Naufal bin Abdi Manaf, sebagai penguasa di Shun’a’ (صنعاء) dan sebagai qadhi di Yaman.
16)   Sufyan bin Abdullah Al-Tsaqafi, sebagai hakim di Tha’if.
17)   Mughirah bin Syu’bah, sebagai penguasa di Kufah.
18)   Mu’awiyyah bin Abi Sufyan sebagai penguasa di Syam.
19)   Usman bin Abil Ash Al-Tsaqafi, sebagai penguasa di Bahrain.
20)   ‘Amir bin Sa’ad, sebagai penguasa kota Hamash.
21)   Abdullah bin Rabi’ah, sebagai penguasa di Janad.
22)   Abu Ubaidah ‘Amir bin Jarah.
23)   Mu’ad bin Jabal, sebagai qadhi di Syam.
24)   Abu Darda’, sebagai qadhi di Madinah.
25)   Syufa’a Al-Adawiyah seorang wanita yang ditunjuk sebagai wilayah hisbah di pasar.
26)   Abdullah bin Utbah bin Mas’ud Al-Hadzali.
27)   Abu Idris Al-Khaulani yang diserahkan sebagai wilayah Madzalim.

2.4  Kasus-kasus peradilan islam pada masa Umar Bin Khattab

Ada beberapa keputusan pada masa Umar, karena memandang lamanya menjadi khalifah, perluasan wilayah, banyaknya para qadhi. Diantaranya[10] :
a)      Memisah antara suami/istri ketika akad sempurna dalam masa iddah.
      Diriwayatkan dari Said bin Musayyab bahwa “Umar telah memisah antara Thulaiha Al-Asadiyyah dan suaminya Rasyid As-Tsaqafi ketika mengawininya pada masa iddah dari istri yang kedua, lalu Umar berkata: apakah boleh menikahi seorang perempuan dalam keadaan iddah, jika suaminya mengawininya tidak menjimak maka pisahlah antara keduanya, kemudian melaksanakan iddah dari suami yang pertama, lalu lelaki lain yang melamarnya dan jika sudah dijimak, maka pisahlah antara keduanya, lalu melaksanakan iddah dari suami yang pertama, kemudian tidak boleh berkumpul selamanya”.
b)      Gugurnya Had dengan syubhat pada tahun mujama’ah
      Dicerikatan bahwa budak telah dituduh mencuri, lalu hal ini dilaporkan pada Umar, kemudian Umar memerintahkan Katsir bin shalt untuk memotong kedua tangannya, lalu Umar berkata:apakah kamu melihat kejadian mereka, lalu berkata:demi Allah sungguh aku akan membayar kepadamu yang membuat kamu sulit, lalu berkata pada Muzanni: berapa harganya? Muzanni menjawab: demi Allah, aku telah mencegahnya empat ratus dirham, lalu Umar berkata: berilah delapan ratus dirham, kemudian umar tidak memotongnya pada tahun ini.
c)      Persekutuan dalam pembunuhan
      Diceritakan bahwa: seorang lelaki berlomba-lomba setiap tahunnya untuk kembali melaksanakan haji, ketika dia datang menjumpai seorang tujuh lelaki meminum khamar, lalu mereka membunuhnya, kemudian Umar menulis surat: pukullah semua lehernya mereka dan bunuhlah mereka, jika ahlul sun’a’ bersekutu membunuh niscaya aku yang membunuhnya.
d)     Mengganti barang yang rusak
      Diceritakan bahwa Umar telah mengambil kuda dari seorang lelaki, lalu membawanya dan membinasakan kuda, lalu seorang lelaki memusuhinya, kemudian Umar berkata: jadikanlah antara aku dan kamu seorang lelaki, lalu lelaki berkata: saya akan rela menemani antara aku dan kamu dan berkata: aku telah mengambil yang bagus  dan selamat atas saum, maka kamu harus membalikkan yang bagus sebagaimana kamu mengambilnya, lalu Umar mngutus qadhi seraya berkata: jika kamu tidak menemukan al-Qur’an maka lakukan as-Sunnah, bila tidak menemui as-Sunnah maka berijtihadlah pendapatmu.








BAB III
Penutup
A.    Peradilan pada massa Abu Bakar Ash Shiddiq
1.1  Biografi Abu Bakar Ash Shiddiq
1.2  Sumber hukum peradilan islam pada masa Abu Bakar
1.3  Hakim hakim Pada Massa Abu Bakar
1.4  Kasus-kasus peradilan islam pada masa Abu Bakar
B.     Peradilan pada massa Umar bin khattab
2.1  Biografi Umar bin khattab
2.2  Sumber hukum peradilan islam pada masa Umar bin khattab
2.3  Hakim hakim Pada Massa Umar bin khattab
2.4  Kasus-kasus peradilan islam pada masa Umar bin khattab














Daftar Pustaka

Najjar, Abdul Wahab, Khulafa al-Rasyidin, (Beirut: Dar al-Kutub al-Timiyah), 1990.
al-Zuhaylî, Wahbah. Tarikh al-Qadlâ’ fî al-`Islâm, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1995). as-Sulaimi, Muhammad bin Shamil. al-Bidayah wan Nihayah.
sa’adah, nidaus, sejarah kebudayaan islam, ( mojokerto: CV. Mutiara ilmu) 2012



[1] Nidaus sa’adah, sejarah kebudayaan islam, CV. Mutiara ilmu : 2012., hal : 26
[2] Muhammad bin Shamil as-Sulaimi, al-Bidayah wan Nihayah, hal 36
[3] Wahbah, Tarikh al-Qadlâ’ fî al-`Islâm, (Damaskus: Dâr al-Fikr, 1995). Hal 80

[4] Abdul Wahab Najjar, Khulafa al-Rasyidin, (Beirut: Dar al-Kutub al-Timiyah, 1990), cet II, hal.. 205
[5]
[6] Ibid., Hal 136-137

[7] Nidaus sa’adah, sejarah kebudayaan islam, hal : 30
[8] Ibid., Hal 117
[9] Ibid., Hal 138-142

[10] Ibid., Hal 142-144

Tidak ada komentar:

Posting Komentar