BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Pada zaman jahiliyah wanita tidaklah ada
harganya atau dipandang rendah, kita
banyak mendengar kisah-kisahnya seperti penguburan bayi perempuan oleh ayah
kandungnya sendiri ketika baru lahir karna menjadi aib baginya, atau satu suami
memiliki istri yang banyak dan akan
diwariskan ketika ia mati,dan masih banyak lagi adat kebiasan pada zaman
jhilyah yang tak bermoral tentang
merendahkan derajat kaum wanita. ketika
islam datang sebagai rohmatan lil’alamin, terankatlah derajat kaum
wanita dengan ajaran-ajaran atau perintah untuk memulyakannya, karena kualitas
seseorang bukanlah dari jenis kelamin atau yang lainnya melainkan ketaqwaannya.
kemulyaan yang diberikan terhadap kaum
wanita diantaranya adalah di syari’atkan nya khulu’.
dalam makalah kali ini kami akan membahas
tentang pengrtian khulu’ secara terperinci, dikarenakan sangat jarang kita
mengatahui seluk beluk dari khulu’ itu sendiriyang sekilas, praktiknya hanpir
sama dengan talak yang sering diperbincangkan atau lebih familiar dibandingkan
dengan khulu’, begitu juga dengan masa iddahnya, jika di kaitkan dengan talak.
Khulu’
jika diartikan secara global yakni gugatan cerai oleh istri kepada suami,
dengan membayar tebusan. Sedangkan tebusan disini kita beranggapan lebih
condong kepada pembayaran dengan hberupa materi, padahal ada banyak cara
menebusnya, sepeti jasa atau yang lainnya tergantung yang diinginkan pihak
suami sebagai tebusan yang menurutnya pantas atau cukup, yang akan dijelaskan
dari sudut pandang perbedaan pendapat diantara para ulama’
.
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas dapat diambil
Rumusan Masalah sebagai berikut :
1.
Apa Pengertian
khuluk secara terperinci ?
2.
Bagaimana Hukum-hukum
terkait pembayaran tebusan khulu’?
3.
Berapa Masa
iddah khulu’?
C.
Tujuan Perumusan
1.
Untuk
mengetahui definisi pengertian khuluk
2.
Untuk
mengetahui hukum-hukum permasalahan mengenai khuluk
3.
Untuk
mengetahui masa iddah wanita yang ber-khuluk
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Khuluk
Menurut bahasa Lafadh khuluk dengan dibaca dhomah huruf kha’nya
ada titiknya, itu dicetak dari lafadh khal’u dengan dibaca fathah huruf
kha’nya, dan khuluk mempunyai arti pencabutan/pelucutan . Sedangkan khuluk menurut syara’ adalah penceraian dengan adanya
ganti/imbalan yang dimaksud . Dikecualikan dari “maqsud” yaitu khuluk dengan “
imbalan ” berupa darah dan semacamnya.[1]
Jadi
jika ada seorang wanita membenci suaminya karena keburukan akhlak, ketaatannya
terhadap agama, atau karena kesombongan atau karena yang lain-lain dan ia
sendiri khawatir tidak dapat menunaikan hak-hak Allah azza wa jalla. Maka
diperbolehkan baginya meng-khuluk, dengan cara memberikan ganti berupa tebusan
untuk menebus dirinya darinya (suaminya). Hal itu didasarkan pada firman Allah
SWT.
وَلا يَحِلُّ لَكُم أَن
تَأخُذوا مِمّا آتَيتُموهُنَّ شَيئًا إِلّا أَن يَخافا أَلّا يُقيما حُدودَ
اللَّهِ ۖ
فَإِن خِفتُم أَلّا يُقيما حُدودَ اللَّهِ فَلا جُناحَ عَلَيهِما فيمَا افتَدَت
بِهِ ۗ تِلكَ حُدودُ اللَّهِ
فَلا تَعتَدوها ۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدودَ اللَّهِ فَأُولٰئِكَ هُمُ الظّالِمون[2]
Tidak
halal bagi kalian mengambil kembali dari sesuatu yang telah kalian berikan
kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan
hukum-hukum Allah. Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak
dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang
bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum
Allah, maka janganlah kalian melanggarnya. Barang siapa melanggar hukum-hukum
Allah, mereka itulah orang-orang yang dzalim.[3]
Dan juga dijelaskan di dalam hadis yang
diriwayatkan oleh Bukhari
عن ابن عباس ر
ع انّ امرأة ثابت بن قيس اتت النبي ص م,
فقالت: يا رسول الله, ثابت بن قيس ما اعيب عليه في خلق ولادين, ولكني اكره الكفر
في الاسلام, فقال رسول الله ص م "اتردين عليه حديقنة؟ فقالت: نعم, فقال رسول
الله "اقبلي الحديقة وطلًقها تطليقة, رواه البخاري, وفي رواية له: وأمره
بطلاقها.
Dari ibnu abbas ra. Bahwasannya idtri
Tsabit bin Qais datang kepada nabi SAW lalu berkata: wahai rasulullah, saya
tidak mencela akhlak dan agama Tsabit bin Qais. Akan tetapi saya tidak suka
durhaka (pada suami) setelah masuk islam. Lalu rasullullah SAW bersabda: apakah
kamu mau mengembalikan kebunnya? Dia menjawab: iyya. Lalu rasulullah SAW
bersabda: teri,alah kebun dan ceraikanlah dia. Riwayat Bukhori dalam
sebagian riwayatnya. Beliau memerintahnya untuk menceraikannya.[4]
Dilihat dari ketrangan diatas kita dapat
menyimpulkan bahwa khulu’ tidak serta-merta diutarakan kepada suami tanpa ada
sebab, maka harus ada sebab-sebab yang
jelas.
Dan jika memang tanpa adanya sebab mengutarakan khulu, Maka mengenai hal ini, Ibnu Jarir telah meriwayatkan, dari
Tsauban, bahwa Rasulullah SAW bersabda,
أيما امرأة
سألت زوجها طلاقا من غير بأس فحرام عليها رائحة الجنة. (رواه الترمذى)
“wanita mana saja yang
meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan, maka diharamkan
baginya bau surga.”
Hadist tersebut diriwayatkan Imam
Tirmidzi dan ia mengatakan, “Hadist ini hasan.”
Kemudian banyak kelompok dari
kalangan Ulama’ Salaf dan para imam khalaf yang menyatakan, bahwa tidak
diperbolehkan khuluk kecuali jika terjadi perselisihan dan nusyuz dari
pihak istri. Maka pada saat itu, bagi suami diperbolehkan untuk menerima fidyah
(tebusan). Dalam hal itu, mereka berlandaskan pada firman Allah Ta’alla di
dalam surat Al-baqarah :229
Lebih lanjut mereka mengemukakan, “Khuluk
itu tidak disyariatkan kecuali dalam kondisi seperti ini hingga tidak
diperbolehkan melakukan khuluk dalam kondisi yang lain kecuali dengan dalil.
Pada dasarnya, tidak ada khuluk.”[5]
Dan Khuluk
itu boleh di lakukan pada saat isteri sedang haid maupun suci yang didalamnya
sudah terjadi percampuran, karena pada dasarnya larangan talak pada saat isteri
sedang haid itu dimaksudkan agar tidak memberikan madharat padanya ketika
menjalani masa iddah. Sedang khuluk itu sendiri dimaksudkan untuk menghilangkan
kemadharatan yang muncul karana buruknya pergaulan hubungan yang tidak baik
dengan orang yang dibencinya. Dan kemadharatan yang terahir ini lebih parah
dari pada kemadharatan pada masa iddah. Oleh karena itu dibolehkan bagi seorang
menghindari madharat yang lebih bessar dengan mengambil madharat yang lebih
ringan.
Jadi, khuluk itu tidak memiliki waktu tertentu. Lebih dari
itu, khuluk boleh dilakukan kapan saja. Dan yang dilarang pada masa haid adalah
talak.[6]
B.
Hukum-hukum permasalahan terkait pembayaran tebusan
Adapun hukum khuluk yang kadarnya lebih
banyak dari pada mahar
Hanafi berpendapat: Jika perempuan nusyuz maka dimakruhkan
mengambil lebih banyak dari jumlah mahar. Sedangkan jika dari pihak suami, maka
dimakruhkan ia mengambil sesuatu pun. Tetapi, mengambilnya adalah sah, tetapi
makruh.
Hambali berpendapat: Dimakruhkan khuluk lebih besar dari jumlah mahar.[7]
Khuluk yang dilakukan
tanpa memberikan tebusan adalah sah. Demikian menurut pendapat Imam Malik dan
Ahmad dalam salah satu riwayat. Karena ia merupakan pemutusan nikah sehingga
sah meski tanpa adanya tebusan sebagaimana halnya talak. Dan pada dasarnya,
dalam pensyariatan khuluk itu harus ada
ketidak sukaan istri terhadap suami dan juga ada keinginan berpisah dengannya,
sehingga ia pun memintanya untuk berpisah.
Pendapat yang kedua bersumber dari Ahmad, bahwa khuluk seperti itu
tidak sah kecuali dengan menggunakan tebusan. Jika ia mengucapkan khuluk itu
tanpa tebusan dengan disertainya talak maka talak yang berlaku adalah talak
raj’i , karena hal itu bisa saja berarti talak dengan kata kiasan. Dan jika
tidak diniati talak, maka tidak berarti apapun. Demikian menurut pendapat Abu
Hanifah dan Syafi’i.[8]
Dan jika khuluk dengan syarat istri harus menyusui
anaknya selama 2 tahun adalah diperbolehkan. Jika anak meninggal sebelum 2
tahun maka istri membayar harga penyusuan sebagai masa yang telah ditentukan.
Demikian menurut pendapat Hanafi dan Hambali. Sedangkan dari Maliki diperoleh 2
riwayat. Pertama, suami tidak mendapat bayaran apa-apa. Kedua, sama
seperti pendapat Hanafi dan Hambali.
Syafi’i mempunyai dua pendapat. Pertama,
tugas penyusuan itu gugur, dan tidak harus digantikan orang lain untuk
disusukan untuk menggenapi dua tahun.
Berdasarkan qoul jadid dari
Syafi’i, istri hendaknya mengembalikan mahar mitsl. Sedangkan menurut qoul
qodim-nya, hendaknya diperhitungkan upah penyusuan tersebut.[9]
C.
Masa Iddah Wanita Khuluk
Didalam massa iddah
wanita yang khuluk itu terdapat perbedaan pendapat, seperti pernyataan Imam Tirmidzi
yaitu, para ulama’ dari kalangan para sahabat dan juga yang lainnya berpendapat
bahwa iddah wanita yang melakukan khuluk itu sama dengan wanita yang ditalak.
Imam Malik, Abu
Hanifah, Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Ishak bin Rahawaih, mengenai suatu riwayat
dari keduanya, yang berkedudukan sebagai riwayat masyhur, bahwa iddahnya
wanita yang melakukan khuluk adalah sama dengan iddahnya wanita yang diceraikan,
yaitu dengan tiga quru’, jika ia termasuk iddahnya wanita yang sedang
haid. Hal itu dirwayatkan dari Umar,Ali, dan Ibnu Umar. Hal itu pula
diriwayatkan Said bin Musayyab, Suliman bin Yasar, Urwah, Salim, Abu salamah,
Umar bin Abdul Aziz, Ibnu Syihab, al-Hasan, asy-Sya’bi, Ibrohim an-Nakha’i, Abu
Iyyadh, Khalash bin Umar, Qatadah, Sufyan Tsauri, al-Auzai, al-Laits bin Sa’ad,
Abu al-Ubaid.
Sedangkan Imam
Tirmidzi mengatakan, yang demikian itu merupakan pendapat mayoritas ulama’ dari
kalangan sahabat dan juga lainnya. Yang menjadi landasan mereka adalah bahwa khulu’
itu adalah talak, sehingga seorang wanita yang melakukan khuluk harus menjalani
iddah sebagaimana wanita-wanita yang dicerai suaminya.
Imam Tirmidzi
mengatakan yang benar adalah wanita tersebut diperintahkan untuk menjalani
iddah selama satu kali haid.
Sedangkan pendapat yang
menyatakan bahwa khuluk itu faskh, maka iddah yang harus dijalani wanita
tersebut adalah satu kali haid
Diriwayatkan oleh Abu
Dawud dan Tirmidzi dari Ibnu Abbas, bahwa istri Tsabit bin Qais pernah
mengajukan khuluk kepada suaminya, lalu Rasullulah SAW menyuruhnya menjalani
iddah dengan satu kali haid.
Hadist diatas
menunjukan bahwa iddah adalah khuluk itu hanya satu kali haid, juga menunjukan
bahwa khulu itu hanya sebatas faskh
saja dan tidak sampai talak karena iddah wanita yang ditalak itu tiga kali
haid.
Ibnu Qayyim
menyebutkan, “orang-orang berbeda pendapat mengenai iddah wanita yang berkhuluk
ini. Ishak dan Ahmad berpendapat dalam salah satu pendapatnya yang paling
shahih yang menunjukan bahwa ia harus menjalani iddah dengan satu kali haid.
Dan itu pula yang menjadi pendapat Usman bin Affan dan Abdullah bin Abbas. Dan
demikian itulah yang paling rajih.
Dan bahwa tidak ada
satu hadist pun yang menerangkan bahwa Rasulullah menyuruh wanita yang
berkhuluk untuk beriddah selama tiga kali haid.[10]
BAB III
PENUTUPAN
A.
Kesimpulan
1. Khuluk
Menurut bahasa
Lafadh khuluk dengan dibaca dhomah huruf
kha’nya ada titiknya, itu dicetak
dari lafadh khal’u dengan dibaca fathah huruf kha’nya, dan khuluk mempunyai
arti pencabutan/pelucutan . Sedangkan khuluk menurut syara’ adalah penceraian
dengan adanya ganti/imbalan yang dimaksud . Dikecualikan dari “maqsud” yaitu
khuluk dengan “ imbalan ” berupa darah dan semacamnya.
2.
Hukum
terkait pembayaran tebusan khuluk
Hukum pembayaran tebusan itu Jika
tebusan lebih besar dari pada mahar maka hukumnya makruh menurut hanafi dan
hambali. bila tanpa adanya tebusan hukumnya sah menurut malik dan ahmad, dan
tidak sah menurut pendapat keduanya ahmad. Tebusan juga bisa dengan berupa
menyusui.
3. Massa iddah wanita khuluk
Apabila berpendapat bahwa iddah
itu adalah talak maka iddahnya tiga quru’, dan jika berpendapat bahwa khuluk adalah fasakh maka iddahnya satu quru’
DAFTAR PUSTAKA
AL QUR’AN
Ali, Mahrus, Terjemah
Bulughul Maraam, Mutiara Ilmu, Surabaya: 1995.
Ayyub, Hasan, Fikih
Keluarga, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta: 2001.
Departemen Agama
RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Syaamil Quran, Bandung: 2009.
Mubarok, Abu
hazim Fiqh Idola Terjemah Fathul Qarib, Mukjizat, Kediri: 2012.
Zaki, Abdullah,
Fiqih Empat Mazhab, Hasyimi Press, Bandung: 2004.
[1] Ibn Qosim AL
Ghozi, Fiqh Idola; Terjemah Fathul Qorib, Abu Hazim Mubarok, Terj.,
(Kediri: Mukjizat, 2012), 138
[2] al-Qur’ an, 2:
229.
[3]Departemen
Agama RI, AL-QUR’AN DAN TERJEMAHNYA (Bandunng: Syaamil Quran, 2009)
[5] Hasan Ayyub, Fikih
Keluarga, M. Abdul Ghoffar, E.M., Terj., (Jakarta Timur: Pustaka
al-Kautsar, 2001), 307.
[6]Ibid., 312.
[7] Muhammad bin
‘Abdurrohman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, ‘Abdulloh Zaki Alkaf,
Terj., (Bandung: Hasyimi Press, 2004), 364.
[8] Ibid., 322.
[9]Ibid ., 364.
[10] Ibid, hal,
322.