Kamis, 25 Februari 2016

Makalah khuluq




BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
      Pada zaman jahiliyah wanita tidaklah ada harganya atau  dipandang rendah, kita banyak mendengar kisah-kisahnya seperti penguburan bayi perempuan oleh ayah kandungnya sendiri ketika baru lahir karna menjadi aib baginya, atau satu suami memiliki istri yang banyak  dan akan diwariskan ketika ia mati,dan masih banyak lagi adat kebiasan pada zaman jhilyah yang tak  bermoral tentang merendahkan derajat kaum wanita.  ketika islam datang sebagai rohmatan lil’alamin, terankatlah derajat kaum wanita dengan ajaran-ajaran atau perintah untuk memulyakannya, karena kualitas seseorang bukanlah dari jenis kelamin atau yang lainnya melainkan ketaqwaannya.
         kemulyaan yang diberikan terhadap kaum wanita diantaranya adalah di syari’atkan nya khulu’.
 dalam makalah kali ini kami akan membahas tentang pengrtian khulu’ secara terperinci, dikarenakan sangat jarang kita mengatahui seluk beluk dari khulu’ itu sendiriyang sekilas, praktiknya hanpir sama dengan talak yang sering diperbincangkan atau lebih familiar dibandingkan dengan khulu’, begitu juga dengan masa iddahnya, jika di kaitkan dengan talak.
       Khulu’ jika diartikan secara global yakni gugatan cerai oleh istri kepada suami, dengan membayar tebusan. Sedangkan tebusan disini kita beranggapan lebih condong kepada pembayaran dengan hberupa materi, padahal ada banyak cara menebusnya, sepeti jasa atau yang lainnya tergantung yang diinginkan pihak suami sebagai tebusan yang menurutnya pantas atau cukup, yang akan dijelaskan dari sudut pandang perbedaan pendapat diantara para ulama’
 
.
        


B.     Rumusan Masalah
       Dari latar belakang diatas dapat diambil Rumusan Masalah sebagai berikut :
1.      Apa Pengertian khuluk secara terperinci ?
2.      Bagaimana Hukum-hukum terkait pembayaran tebusan khulu’?
3.      Berapa Masa iddah khulu’?



C.    Tujuan Perumusan
1.      Untuk mengetahui definisi pengertian khuluk
2.      Untuk mengetahui hukum-hukum permasalahan mengenai khuluk
3.      Untuk mengetahui masa iddah wanita yang ber-khuluk


















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Khuluk
Menurut bahasa Lafadh khuluk  dengan dibaca dhomah huruf  kha’nya  ada titiknya, itu dicetak dari lafadh khal’u dengan dibaca fathah huruf kha’nya, dan khuluk mempunyai arti pencabutan/pelucutan . Sedangkan khuluk  menurut syara’ adalah penceraian dengan adanya ganti/imbalan yang dimaksud . Dikecualikan dari “maqsud” yaitu khuluk dengan “ imbalan ” berupa darah dan semacamnya.[1]
Jadi jika ada seorang wanita membenci suaminya karena keburukan akhlak, ketaatannya terhadap agama, atau karena kesombongan atau karena yang lain-lain dan ia sendiri khawatir tidak dapat menunaikan hak-hak Allah azza wa jalla. Maka diperbolehkan baginya meng-khuluk, dengan cara memberikan ganti berupa tebusan untuk menebus dirinya darinya (suaminya). Hal itu didasarkan pada firman Allah SWT.
وَلا يَحِلُّ لَكُم أَن تَأخُذوا مِمّا آتَيتُموهُنَّ شَيئًا إِلّا أَن يَخافا أَلّا يُقيما حُدودَ اللَّهِ ۖ فَإِن خِفتُم أَلّا يُقيما حُدودَ اللَّهِ فَلا جُناحَ عَلَيهِما فيمَا افتَدَت بِهِ ۗ تِلكَ حُدودُ اللَّهِ فَلا تَعتَدوها ۚ وَمَن يَتَعَدَّ حُدودَ اللَّهِ فَأُولٰئِكَ هُمُ الظّالِمون[2]  

     Tidak halal bagi kalian mengambil kembali dari sesuatu yang telah kalian berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kalian khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kalian melanggarnya. Barang siapa melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang dzalim.[3]

       Dan juga dijelaskan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari
عن ابن عباس ر ع انّ امرأة  ثابت بن قيس اتت النبي ص م, فقالت: يا رسول الله, ثابت بن قيس ما اعيب عليه في خلق ولادين, ولكني اكره الكفر في الاسلام, فقال رسول الله ص م "اتردين عليه حديقنة؟ فقالت: نعم, فقال رسول الله "اقبلي الحديقة وطلًقها تطليقة, رواه البخاري, وفي رواية له: وأمره بطلاقها.

Dari ibnu abbas ra. Bahwasannya idtri Tsabit bin Qais datang kepada nabi SAW lalu berkata: wahai rasulullah, saya tidak mencela akhlak dan agama Tsabit bin Qais. Akan tetapi saya tidak suka durhaka (pada suami) setelah masuk islam. Lalu rasullullah SAW bersabda: apakah kamu mau mengembalikan kebunnya? Dia menjawab: iyya. Lalu rasulullah SAW bersabda: teri,alah kebun dan ceraikanlah dia. Riwayat Bukhori dalam sebagian riwayatnya. Beliau memerintahnya untuk menceraikannya.[4]
Dilihat dari ketrangan diatas kita dapat menyimpulkan bahwa khulu’ tidak serta-merta diutarakan kepada suami tanpa ada sebab, maka  harus ada sebab-sebab yang jelas.
Dan jika memang tanpa adanya sebab mengutarakan khulu, Maka mengenai hal ini, Ibnu Jarir telah meriwayatkan, dari Tsauban, bahwa Rasulullah SAW bersabda,    
أيما امرأة سألت زوجها طلاقا من غير بأس فحرام عليها رائحة الجنة. (رواه الترمذى)
 “wanita mana saja yang meminta cerai kepada suaminya tanpa alasan yang dibenarkan, maka diharamkan baginya bau surga.”
      Hadist tersebut diriwayatkan Imam Tirmidzi dan ia mengatakan, “Hadist ini hasan.”
Kemudian banyak kelompok dari kalangan Ulama’ Salaf dan para imam khalaf yang menyatakan, bahwa tidak diperbolehkan khuluk kecuali jika terjadi perselisihan dan nusyuz dari pihak istri. Maka pada saat itu, bagi suami diperbolehkan untuk menerima fidyah (tebusan). Dalam hal itu, mereka berlandaskan pada firman Allah Ta’alla di dalam surat Al-baqarah :229
Lebih lanjut mereka mengemukakan, “Khuluk itu tidak disyariatkan kecuali dalam kondisi seperti ini hingga tidak diperbolehkan melakukan khuluk dalam kondisi yang lain kecuali dengan dalil. Pada dasarnya, tidak ada khuluk.”[5]
Dan Khuluk itu boleh di lakukan pada saat isteri sedang haid maupun suci yang didalamnya sudah terjadi percampuran, karena pada dasarnya larangan talak pada saat isteri sedang haid itu dimaksudkan agar tidak memberikan madharat padanya ketika menjalani masa iddah. Sedang khuluk itu sendiri dimaksudkan untuk menghilangkan kemadharatan yang muncul karana buruknya pergaulan hubungan yang tidak baik dengan orang yang dibencinya. Dan kemadharatan yang terahir ini lebih parah dari pada kemadharatan pada masa iddah. Oleh karena itu dibolehkan bagi seorang menghindari madharat yang lebih bessar dengan mengambil madharat yang lebih ringan.
       Jadi, khuluk itu tidak memiliki waktu tertentu. Lebih dari itu, khuluk boleh dilakukan kapan saja. Dan yang dilarang pada masa haid adalah talak.[6]


B.     Hukum-hukum permasalahan terkait pembayaran tebusan
      Adapun hukum khuluk yang kadarnya lebih banyak dari pada mahar
Hanafi berpendapat: Jika perempuan nusyuz maka dimakruhkan mengambil lebih banyak dari jumlah mahar. Sedangkan jika dari pihak suami, maka dimakruhkan ia mengambil sesuatu pun. Tetapi, mengambilnya adalah sah, tetapi makruh.
Hambali berpendapat: Dimakruhkan khuluk   lebih besar dari jumlah mahar.[7]
      Khuluk yang dilakukan tanpa memberikan tebusan adalah sah. Demikian menurut pendapat Imam Malik dan Ahmad dalam salah satu riwayat. Karena ia merupakan pemutusan nikah sehingga sah meski tanpa adanya tebusan sebagaimana halnya talak. Dan pada dasarnya, dalam pensyariatan khuluk  itu harus ada ketidak sukaan istri terhadap suami dan juga ada keinginan berpisah dengannya, sehingga ia pun memintanya untuk berpisah.
       Pendapat yang kedua bersumber dari Ahmad, bahwa khuluk seperti itu tidak sah kecuali dengan menggunakan tebusan. Jika ia mengucapkan khuluk itu tanpa tebusan dengan disertainya talak maka talak yang berlaku adalah talak raj’i , karena hal itu bisa saja berarti talak dengan kata kiasan. Dan jika tidak diniati talak, maka tidak berarti apapun. Demikian menurut pendapat Abu Hanifah dan Syafi’i.[8]

       Dan jika  khuluk dengan syarat istri harus menyusui anaknya selama 2 tahun adalah diperbolehkan. Jika anak meninggal sebelum 2 tahun maka istri membayar harga penyusuan sebagai masa yang telah ditentukan. Demikian menurut pendapat Hanafi dan Hambali. Sedangkan dari Maliki diperoleh 2 riwayat. Pertama, suami tidak mendapat bayaran apa-apa. Kedua, sama seperti pendapat Hanafi dan Hambali.
       Syafi’i mempunyai dua pendapat. Pertama, tugas penyusuan itu gugur, dan tidak harus digantikan orang lain untuk disusukan­­­ untuk menggenapi dua tahun.
       Berdasarkan qoul jadid dari Syafi’i, istri hendaknya mengembalikan mahar mitsl. Sedangkan menurut qoul qodim-nya, hendaknya diperhitungkan upah penyusuan tersebut.[9]

     


C.     Masa Iddah Wanita Khuluk
       Didalam massa iddah wanita yang khuluk itu terdapat perbedaan pendapat, seperti pernyataan Imam Tirmidzi yaitu, para ulama’ dari kalangan para sahabat dan juga yang lainnya berpendapat bahwa iddah wanita yang melakukan khuluk itu sama dengan wanita yang ditalak.
       Imam Malik, Abu Hanifah, Syafi’i, Ahmad bin Hambal, Ishak bin Rahawaih, mengenai suatu riwayat dari keduanya, yang berkedudukan sebagai riwayat masyhur, bahwa iddahnya wanita yang melakukan khuluk adalah sama dengan iddahnya wanita yang diceraikan, yaitu dengan tiga quru’, jika ia termasuk iddahnya wanita yang sedang haid. Hal itu dirwayatkan dari Umar,Ali, dan Ibnu Umar. Hal itu pula diriwayatkan Said bin Musayyab, Suliman bin Yasar, Urwah, Salim, Abu salamah, Umar bin Abdul Aziz, Ibnu Syihab, al-Hasan, asy-Sya’bi, Ibrohim an-Nakha’i, Abu Iyyadh, Khalash bin Umar, Qatadah, Sufyan Tsauri, al-Auzai, al-Laits bin Sa’ad, Abu al-Ubaid.
       Sedangkan Imam Tirmidzi mengatakan, yang demikian itu merupakan pendapat mayoritas ulama’ dari kalangan sahabat dan juga lainnya. Yang menjadi landasan mereka adalah bahwa khulu’ itu adalah talak, sehingga seorang wanita yang melakukan khuluk harus menjalani iddah sebagaimana wanita-wanita yang dicerai suaminya.
       Imam Tirmidzi mengatakan yang benar adalah wanita tersebut diperintahkan untuk menjalani iddah selama satu kali haid.
      Sedangkan pendapat yang menyatakan bahwa khuluk itu faskh, maka iddah yang harus dijalani wanita tersebut adalah satu kali haid
       Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi dari Ibnu Abbas, bahwa istri Tsabit bin Qais pernah mengajukan khuluk kepada suaminya, lalu Rasullulah SAW menyuruhnya menjalani iddah dengan satu kali haid.
       Hadist diatas menunjukan bahwa iddah adalah khuluk itu hanya satu kali haid, juga menunjukan bahwa khulu  itu hanya sebatas faskh saja dan tidak sampai talak karena iddah wanita yang ditalak itu tiga kali haid.
       Ibnu Qayyim menyebutkan, “orang-orang berbeda pendapat mengenai iddah wanita yang berkhuluk ini. Ishak dan Ahmad berpendapat dalam salah satu pendapatnya yang paling shahih yang menunjukan bahwa ia harus menjalani iddah dengan satu kali haid. Dan itu pula yang menjadi pendapat Usman bin Affan dan Abdullah bin Abbas. Dan demikian itulah yang paling rajih.
       Dan bahwa tidak ada satu hadist pun yang menerangkan bahwa Rasulullah menyuruh wanita yang berkhuluk untuk beriddah selama tiga kali haid.[10]
























BAB III
                               PENUTUPAN
A.    Kesimpulan
1.  Khuluk
          Menurut bahasa Lafadh khuluk dengan dibaca dhomah huruf  kha’nya  ada titiknya, itu dicetak dari lafadh khal’u dengan dibaca fathah huruf kha’nya, dan khuluk mempunyai arti pencabutan/pelucutan . Sedangkan khuluk menurut syara’ adalah penceraian dengan adanya ganti/imbalan yang dimaksud . Dikecualikan dari “maqsud” yaitu khuluk dengan “ imbalan ” berupa darah dan semacamnya.
2.   Hukum terkait pembayaran tebusan khuluk
       Hukum pembayaran tebusan itu Jika tebusan lebih besar dari pada mahar maka hukumnya makruh menurut hanafi dan hambali. bila tanpa adanya tebusan hukumnya sah menurut malik dan ahmad, dan tidak sah menurut pendapat keduanya ahmad. Tebusan juga bisa dengan berupa menyusui.

3.   Massa iddah wanita khuluk
               Apabila berpendapat bahwa iddah itu adalah talak maka iddahnya tiga quru’,  dan jika berpendapat bahwa khuluk  adalah fasakh maka iddahnya satu quru’








DAFTAR PUSTAKA


AL QUR’AN
Ali, Mahrus, Terjemah Bulughul Maraam, Mutiara Ilmu, Surabaya: 1995.
Ayyub, Hasan, Fikih Keluarga, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta: 2001.
Departemen Agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, Syaamil Quran, Bandung: 2009.
Mubarok, Abu hazim Fiqh Idola Terjemah Fathul Qarib, Mukjizat, Kediri: 2012.
Zaki, Abdullah, Fiqih Empat Mazhab, Hasyimi Press, Bandung: 2004.



[1] Ibn Qosim AL Ghozi, Fiqh Idola; Terjemah Fathul Qorib, Abu Hazim Mubarok, Terj., (Kediri: Mukjizat, 2012), 138
[2] al-Qur’ an, 2: 229.
[3]Departemen Agama RI, AL-QUR’AN DAN TERJEMAHNYA (Bandunng: Syaamil Quran, 2009)
[4] Ibnu Hajar al-Asqalani, Bulughul Maram, Mahrus Ali, Terj., (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995), 458.
[5] Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, M. Abdul Ghoffar, E.M., Terj., (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2001), 307.
[6]Ibid., 312.

[7] Muhammad bin ‘Abdurrohman ad-Dimasyqi, Fiqih Empat Mazhab, ‘Abdulloh Zaki Alkaf, Terj., (Bandung: Hasyimi Press, 2004), 364.
[8] Ibid., 322.
[9]Ibid ., 364.
[10] Ibid, hal, 322.